Welcome

Welcome To

by http://kazeyo-kun.blogspot.com

Perppu Kebiri



PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 2016
Oleh
Forum Perempuan BEM Se-Indonesia 2016-2017
Indonesia sedang darurat kekerasan seksual. Fakta menyebutkan bahwa tren kekerasan pada anak setiap tahun semakin meningkat, bahkan cenderung tak terkendali. Data Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, pada tahun 2007 terdapat 1.510 kasus. Pada tahun berikutnya, ada 1.826 kasus. Tren kekerasan semakin menunjukkan kenaikan pada tahun 2009, dimana ada 1.998 kasus. Bahkan, pada tahun 2010, ada 2.046 kasus dan tahun 2011 ada 2.462 kasus, 58% berupa kasus kekerasan seksual. Ironi semakin tajam ketika menginjak pada tahun berikutnya, yakni pada tahun 2012 ada 2.637 kasus. Dari data tersebut, 62% berupa kekerasan seksual. Pada tahun 2013, laporan KPAI menyebutkan, pada tahun 2013 ada 3.339 kasus. Dan kasus kekerasan seksual mencapai 54%. Hanya pada tahun 2014 tren kekerasan menurun, yakni ada 2.750 kasus (58% berupa kasus kekerasan seksual) ini pun turunnya tidak begitu signifikan. Senada dengan itu, Komnas Perempuan menyebut tahun 2015 lalu ada sekitar 6.499 kasus kekerasan seksual, termasuk kepada anak-anak.
Sebelumnya pendekatan untuk memperberat pidana bagi pelaku merupakan perspektif yang masih dipertahankan oleh pemerintah, sebagai contoh, revisi UU No 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada 2014 juga mendasarkan pada asumsi bahwa kejahatan seksual terhadap anak bisa dikurangi dengan memperberat ancaman hukuman terhadap para pelakunya. Hasilnya, Pemerintah malah menyebutkan bahwa saat ini Indonesia sedang memasuki masa genting karena maraknya kejahatan kekerasan seksual pada anak. Pendekatan pemberatan ini sesungguhnya merupakan pendekatan yang miskin data dan kajian dan dianggap sebagai bagian ilusi yang diajukan sebagai kampanye retorik dari pemerintah. Sampai saat ini, pemerintah tidak memiliki angka berapa rata-rata pelaku kejahatan seksual pada anak yang dihukum pengadilan, berapa lama rata-rata tuntutan yang diajukan oleh Jaksa, dan yang terpenting, berapa banyak pelaku yang mengulangi tindak pidananya.
Selain miskin data dan kajian di bidang pidana, Pemerintah juga tidak punya arah, pemetaan dan kajian terkait peraturan perundang-undangan mana saja yang harus dibenahi untuk menekan angka kekerasan seksual pada anak Dalam konteks UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya batas usia minimum perkawinan bagi anak perempuan (16 tahun bahkan lebih) yang memperbolehkan anak dibawah usia 18 tahun dan bahkan jauh dibawah usia itu untuk kawin, membuka potensi legalisasi phedofilia dengan kedok perkawinan. Dan hal ini sampai saat ini belum menjadi perhatian utama dari Pemerintah, atau lebih tepat, tidak menjadi perhatian Pemerintah.
Dalam perspektif viktimologi, anak adalah salah satu kelompok rentan yang wajib mendapatkan perindungan dari Negara. Anak-anak berada dalam posisi yang secara fisik dan psikis tidak mampu melindungi dirinya sendiri, karena itu Negara wajib memberikan perlindungan. Bentuk perlindungan yang seharusnya diberikan oleh Negara adalah memastikan anak-anak terbebas dari praktek-praktek diskriminasi, eksploitasi. kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Oleh karena itulah maka pemberian hukuman berat dalam bentuk kebiri yang diusulkan oleh pemerintah harus dikaji apakah memberikan implikasi dalam menjamin terlindunginya hak-hak korban kebiri kimia ini. Menurutnya, Jerman, Korea Selatan, dan Rusia adalah beberapa negara di dunia yang menerapkan hukuman tersebut. Sistem perundang-undangan di Indonesia memang belum mengatur mengenai adanya hukuman tersebut bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Sekjen KPAI mengatakan, bahwa KPAI mengharapkan pemerintah mengamandemen UU KUHP dan UU Perlindungan Anak Tahun 2002 agar hukumannya diperberat. Adanya hukuman tambahan, saran dari masyarakat yang menginginkan para pelaku kejahatan dihukum kebiri suntikan antiandrogen. (Oleh karena itu caranya) yaitu dengan jalan amandemen UU KUHP.

Dampak Perppu Kebiri ditinjau dari segi kesehatan dan Hukum

Kesehatan :
Dalam dunia kedokteran, kebiri dikenal dengan kastrasi. Pada era modern, kebiri tak lagi dilakukan dengan membuang testis, tetapi secara kimia. Prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun suntikan hormon antiandrogen. Pemberian obat antiandrogen itu akan membuat pria kekurangan hormon testosteron sehingga tak ada lagi memiliki dorongan seksual. Obat antiandrogen akan memberikan efek yang sama dengan kebiri fisik. Selain itu, obat antiandrogen juga menyebabkan pengeroposan tulang dalam jangka panjang.
Selain itu jika dilihat dari sisi medis, hukuman kebiri ini dilematis karena bertolak belakang dengan kode etik kedokteran, selain itu kebiri juga dikatakan telah melanggar Hak Asasi Manusia dan sumpah dokter. Sebab, tugas dokter adalah sebagai profesi yang menyembuhkan orang bukan menghukum.
Dokter Surya dalam kapasitasnya sebagai psikiater menyampaikan bahwa yang patut menjadi perhatian dan perlunya respon segera adalah perlakuan terhadap para pelaku pasca penghukuman. “Tidak ada mekanisme treatment kepada para pelaku pasca penghukuman. Lebih baik kita memberikan fasilitas kepada orang-orang yang beresiko sehingga dapat segera mengakses ‘bantuan’ ketimbang memberikan nuansa yang menakutkan sebagaimana materi perppu ini,” paparnya.
Pemberlakuan kebiri kimia (Chemical castration), lanjutnya, seharusnya melalui assessment sehingga diketahui dengan pasti bahwa pelaku memang tidak mampu mengontrol androgennya sehingga perlu disuntikkan antiandrogen guna mengontrol hormon testosterone pelaku dengan catatan aktivitas ini dilakukan secara sukarela. “Di Texas, praktik semacam ini juga dilakukan, namun hanya pada orang yang mengaku tidak dapat menghentikan dorongan seksual. Dokter akan memberikannya suntikan kimiawi. Singkat kata, dokter melakukan treatment bukan atas dasar penghukuman namun atas dasar keinginan,” urainya.
Perlunya pelaku mengetahui atau diberikan akses ‘bantuan’ adalah solusi yang cukup penting. “Alangkah baiknya kita mensosialisasikan hotline service bantuan psikologis dan medis sehingga dapat dengan mudah diakses oleh pihak-pihak yang berpotensi melakukan kekerasan seksual bahkan para pelaku pedofilia,” papar Dokter Surya lebih lanjut.
Nasser dari Kompolnas menyampaikan bahwa kontroversi terkait perppu ini perlu dikembalikan kepada teori pemidanaan. Bahwa terdapat 3 (tiga) tujuan pemidanaan yaitu penegakan hukum, memberikan efek jera, dan memberikan perlindungan. Lebih lanjut, negara-negara yang masih memberlakukan konsep hukuman ini adalah negara-negara yang penegakan HAM nya masih berada di belakang Indonesia karena negara yang memberikan askes seluas-luasnya bagi berkembangnya HAM, tidak akan memberlakukan hukuman semacam ini.
Terkait cukup tingginya penolakan dari banyak kalangan terhadap rencana pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mencantumkan tentang penghukuman kebiri secara kimiawi (chemical castration) bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, Nur Amelia dari Kementerian PPPA menyampaikan bahwa hal ini akan dijadikan masukan bagi kementeriannya.
Para dokter yang tergabung dalam Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap menyampaikan penolakan mereka untuk menjadi pelaksana hukuman kebiri kimia seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Alasannya, hukuman kebiri kimia tidak akan memberikan efek jera dan hanya menghabiskan anggaran negara.
Hukum :

Ada 2 alasan hukum mengapa kebiri bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Pertama. Bertentangan dengan pasal 10 KUHP. Pasal 10 KUHP:
Pidana terdiri atas:

a.                          Pidana pokok: 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan
b.                          Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim Pasal 10 KUHP secara eksplisit mengatur bahwa hukuman pokok hanya terdiri dari; pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan yang diakui oleh KUHP Indonesia. Memasukan hukuman kebiri dalam Perppu tentang pemberatan hukuman pelaku kejatahan seksual anak, yang tak lain tujuannya adalah untuk meminimalisir kejahatan seksual terhadap anak adalah salah besar, karena jika pasal tentang hukuman kebiri tetap diloloskan menjadi Perppu, ini jelas akan bertentangan dengan induk hukum nasional Indonesia, KUHP. Begitupun jika ditelisik dari pidana tambahan dalam KUHP Indonesia, hanya ada 3 hukuman tambahan dalam KUHP, Mulai dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Nah jika frasa pencabutan hak-hak tertentu dalam hukuman tambahan, yang dijadikan landasan dari pemerintah untuk meloloskan pasal tentang hukuman kebiri dalam Perpu tentang pemberatan hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual anak adalah juga tidak tepat, menjadi tidak tepat karena dalam pasal 35 KUHP tidak mengatur soal pencabutan hak untuk mempunyai keturunan tersebut. Pasal 35 KUHP (1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang , atau dalam aturan umum lainnya ialah:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu
2. Hak memasuki angkatan bersenjata
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri
 5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri
6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu

Perppu itu minim pertanggungjawaban, karena hanya disusun sepihak oleh Pemerintah, sementara pengaturan yang akan mengikat seluruh warga negara dengan membatasi HAM seharusnya dibahas bersama DPR. Untuk itu, pemerintah diminta mengutamakan pembahasan bersama DPR. Keinginan untuk segera memberlakukan perppu kebiri perlu diperiksa lebih lanjut, karena selama ini pelaku kekerasan seksual tetap dapat dipidana dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai, hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual bukan pilihan yang tepat.
Dengan demikian, aspek kekosongan hukum sebagai salah satu alasan pembentukan perppu dinilai belum terpenuhi. Perppu yang berisi aturan soal pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak akan segera dikirim ke DPR untuk dibahas.
Ekonomi:
Pelaksanaan kebiri kimia dilakukan dengan menyuntikkan cairan anti-testrogen. obat yang diberikan melalui suntikan, akan menekan bagian tubuh yang memproduksi testosteron, hormon yang berperan dalam fungsi seksual laki-laki. Suntikan membutuhkan biaya mulai dari Rp.700 ribu – Rp.1 Juta untuk sekali penggunaan. Obat hanya mampu bekerja untuk menurunkan gairah seksual selama satu hingga tiga bulan saja untuk satu kali suntik.
Pelaksanaan kebiri kimia tentu saja akan menghabiskan biaya yang cukup besar. Selain itu, penggunaan satu kali suntikan yang hanya bertahan satu sampai tiga bulan akan membuat pelaku disuntik berkali-kali selama masa hukuman berlangsung. Belum lagi jika mempertimbangkan dalam satu waktu tidak sedikit orang yang terkena pidana kasus kekerasan seksual pada anak. Hal ini tentu saja tidak efektif untuk pemerintah karena terlalu banyak aggaran yang harus disiapkan sementara pelaku belum tentu mendapatkan efek jera.

Solusi :

1. Membuat desain dan menegakkan kebijakan berbasis pembuktian dan aturan perundang-undangan, termasuk rencana aksi yang mendedikasikan pada strategi kekerasan terhadap anak-anak

2. Meningkatkan layanan dukungan terhadap korban, terutama dalam sektor kesehatan, dan secara konsisten melaksanakan pengajaran pada anak korban yang sensitif dan rujukan bagi tenaga profesional terkait (seperti perawat, pekerja sosial, bidan, dan termasuk aparat kepolisian);

3. Membangun kemitraan antara Pemerintah dan masyarakat sipil di tingkat masyarakat untuk mengubah sikap dan perilaku agar dapat menerima atau membenarkan adanya segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.

4.  Perkuat Pemberatan Pidana Penjara

Pemerintah perlu memperkuat upaya-upaya pencegahan dan memberikan pemberatan hukuman minimal 15 tahun penjara dan maksimal seumur hidup bagi kejahatan perkosaan yang berulang, serta melakukan pemantauan agar setiap hakim untuk secara konsisten menjatuhkan hukuman tersebut.

0 komentar: